PENGHALAU KEMISKINAN DAN PENGANGGURAN
Ledakan Kelahiran, Ledakan Fenomena
Sumber : ketikketik.com |
Sumber : encrypted-tbn2.gstatic.com |
Sumber:cdn.tmpo.co |
Ledakan kelahiran masa
lalu juga berefek jangka panjang pada ledakan jumlah penduduk pada periode
berikutnya. Ledakan jumlah penduduk ini merupakan akar dari masalah sosial ekonomi
multidimensi yakni kemiskinan dan pengangguran. Kemiskinan merupakan masalah
kronis yang terjadi di seluruh penjuru dunia khususnya pada wilayah di negara-negara
berkembang. Provinsi Suamtera Selatan juga mengidap penyakit kronis kemiskinan
dimana 1.085.800 jiwa hidup di
bawah garis kemisikinan. Meskipun telah berhasil menekan
persentase penduduk miskin hingga menjadi 13,62% pada tahun 2014, Sumatera
Selatan tetap berada pada posisi provinsi kesebelas termiskin di Indonesia.
Sedangkan pada sisi persentase pengangguran, sebanyak 5% angkatan kerja di
provinsi ini menjadi pengangguran. Hal yang sangat kontradiktif dengan berbagai
megaproyek ‘mercusuar’ yang dibangun pada kabupaten dan kota di provinsi ini.
Penurunan tingkat kemiskinan dan pengangguran terjadi relatif lambat di tengah
sumber daya alam yang begitu kaya dan sumber daya manusia yang juga melimpah di
provinsi ini. (Badan Pusat Statistik,
2014)
Kualitas
Modal Tenaga Kerja: Penghalau Masalah Melalui Manusia
Kemiskinan
dan pengangguran menjadi masalah krusial yang terus menerus menjadi perhatian
dunia. Kedua hal ini adalah bentuk lingkaran setan sosial ekonomi yang
berhubungan dua arah dan saling mempengaruhi. Kemiskinan selalu dikaitkan
dengan gagalnya pembangunan ekonomi suatu wilayah. Keberhasilan pembangunan
ekonomi suatu negara lazim diteropong melalui tingkat pertumbuhan ekonomi dengan
besarnya Produk Domestik Bruto (PDB) suatu wilayah. Namun, teropong ini
sebenarnya tak berhasil meneropong fenomena pembangunan ekonomi sesungguhnya. Kerap
ditemui wilayah dengan pertumbuhan ekonomi serta PDB yang tinggi tetaplah
menjadi wilayah dimana kemiskinan dan ketimpangan merajalela. Hal ini akibat
tidak terdistribusinya pendapatan secara maksimal dan berimbas pada munculnya
pengangguran.
Pengangguran
adalah bentuk kontradiksi dalam pembangunan ekonomi suatu wilayah. Meskipun pertumbuhan ekonomi dan PDB regional (PDRB) terus mengalami peningkatan,
penangguran tetap saja tidak menurun dengan signifikan. Hal ini terjadi akibat
sektor-sektor produktif hanya menyerap sebagian kecil angkatan kerja suatu
wilayah yang memiliki kualitas Sumber Daya Manusia tertentu. Pendapatan wilayah
yang tinggi hanya dapat terdistribusi pada penduduk yang terserap oleh pasar
kerja sedangkan lapisan lain yang dianggap kurang berkualitas, tidak terserap
pasar kerja. Lapisan penduduk
berkualitas rendah hanya sebagai penonton kemegahan pertumbuhan ekonomi tanpa
pernah mencicipi efek kesejahteraannya. Residu pembangunan berupa pengangguran
ini tak dapat lepas dengan fenomena kemiskinan. Peliknya kondisi pengangguran
akan memperparah fenomena kemiskinan dimana kuantitas penduduk semakin banyak dan
gap ketimpangan semakin besar.
Pembangunan
ekonomi adalah sinergi dari semua komponen untuk menciptakan hidup yang lebih
baik bagi seluruh penduduk. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses produksi
secara agrerat yang tak hanya menghasilkan kuantitas materi, namun juga harus
dibangun dari kualitas komponen modalnya. Komponen yang menjadi pusat perhatian
dalam membangun ekonomi adalah para pelaku utama ekonomi yakni manusia itu
sendiri. Akar semua permasalahan sosial ekonomi sebenarnya berasal dari manusia
penggeraknya. Kualitas modal penggerak yang buruk akan menghasilkan produk
ekonomi yang buruk pula atau dikenal dengan istilah ‘garbage in, garbage out’.
Manusia sebagai makhluk multidimensi berkontribusi
besar sebagai modal tenaga kerja melalui dua potensi modal yang melekat padanya
yakni modal manusia dan modal sosial. Pembangunan ekonomi suatu wilayah
sepantasnya diawali dengan pembangunan komponen modal sosial dan modal manusia.
Modal
sosial sendiri diukur melalui partisipasi dalam kegiatan sosial sehingga dapat
mengurangi kemiskinan. Penekanan tingkat kemiskinan ini dilaksankan melalui eksternalitas
positif (transfer pengetahuan dan teknologi) yang memengaruhi produktivitas
rumah tangga (Alesina dan Ferrara, 1999).
Tingginya angka
kemiskinan dan pengangguran mengindikasikan bahwa pembangunan belum secara
optimal memanfaatkan berbagai sumberdaya yang ada. Selain itu, kebijakan
pembangunan belum mendorong pembangunan institusi-institusi sosial yang
memungkinkan terbentuknya modal sosial yang berpotensi mengentaskan kemiskinan
(Slamet, 2010). Grootaert dalam Grootaert (2001) menemukan bahwa negara-negara
yang memiliki sumberdaya (natural capital, physical capital dan human capital)
yang sama memiliki performa ekonominya yang berbeda. Salah satu faktor
pembedanya adalah keragaman dalam investasi modal sosial. Dengan demikian,
modal sosial dipercaya sebagai ‘the missing link’ dalam pengambilan kebijakan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Grootaert 2001).
Berbeda dengan modal
sosial yang berbentuk ekspresi manusia secara eksternal, modal manusia
merupakan potensi internal dalam diri manusia. Modal manusia adalah bentuk
potensi yang diukur dari seberapa berkualitasnya seorang individu. Gagasan
mengenai pembangunan manusia diawali pada tahun 1990 UNDP dalam
laporannya Global Human Development
Report memperkenalkan konsep “Pembangunan Manusia (Human Development)”,
sebagai paradigma baru model pembangunan. Pembangunan manusia juga merupakan perwujudan jangka panjang yang
meletakkan pembangunan disekeliling manusia, dan bukan manusia disekeliling
pembangunan.
Gagasan mengenai paradigma baru model pembangunan menjadi dasar
pembentukan Indeks Pembangunan Manusia. Menurut UNDP, indeks ini menjadi
gambaran kualitas modal manusia yang dimiliki suatu wilayah berbasis komponen
dasar kualitas hidup. Komponen dasar kualitas hidup ini diukur berdasarkan tiga
dimensi yaitui umur panjang dan sehat, pengetahuan, dan kehidupan layak.
Selanjutnya komponen umur panjang dan sehat diukur dari Angka Harapan Hidup (AHH)
suatu wilayah, komponen pengetahuan diukur berdasarkan Angka Melek Huruf (AMH)
dan Rata-Rata Lama Sekolah (MYS), dan komponen terakhir dihitung dengan
indikator pengeluaran riil per kapita yang disesuaikan (PPP).
Sumatera
Selatan : Bonus Masalah atau Bonus Solusi
Sumatera Selatan adalah
provinsi dengan jumlah penduduk terbesar kesembilan di Indonesia. Provinsi ini
memiliki jumlah penduduk sebesar 7.450.394
jiwa dimana 3,15% penduduk Indonesia menempati wilayahnya. Jumlah penduduk
Sumatera Selatan terus bertambah dengan adanya laju pertumbuhan penduduk
sebesar 1,85% per tahun pada dekade terakhir. Sumatera
Selatan menghadapi tantangan besar pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia
(SDM) dalam menghadapi masa depan terutama pada masa puncak bonus demografi.
Potensi bonus demografi sebagai penggerak ekonom
i pada masa puncak tersebut
berjumlah 5.227.816 jiwa (Badan Pusat Statistik, 2010). Jumlah yang sangat
besar untuk mengubah perekonomian secara signifikan menuju kemajuan peradaban
baru. Namun, kuantitas ini juga berpotensi sebagai boomerang penghancur
perkeonomian jika pembangunan modal sosial dan modal manusianya hanyalah sebuah
wacana.
Sumber : datakesra.kemenkopmk.go.id |
Sumatera
Selatan merupakan provinsi yang terdiri dari 15 kabupaten dan kota (per tahun
2012). Meskipun secara agrerat provinsi ini memiliki nilai komponen modal manusia
yang cukup tinggi dan situasi pendukung modal sosial yang baik, distribusi kualitas
komponen ini masih diragukan pemerataannya pada setiap kabupaten dan kota. Kondisi
pembangunan modal sosial berupa akses-akses pada kegiatan sosial dibatasi oleh
sarana dan prasarana yang timpang antar daerah, terutama pada jalur distribusi.
Berbagai kegiatan pengembang kualitas SDM seperti kompetisi, lokakarya, dan seminar
masih terpusat di wilayah perkotaan. Sedangkan indikator komponen modal manusia
yang harus dikaji pemerataanya adalah pada modal manusia yakni indikator Angka
Harapan Hidup (AHH), Rata-Rata Lama Sekolah (MYS), dan pengeluaran riil per kapita
yang disesuaikan (PPP).
Pembangunan
ekonomi selalu diharapkan dapat mendorong pembangunan kualitas modal manusia. Peningkatan
PDRB seharusnya berbanding lurus dengan peningkatan AHH, MYS, dan PPP. Berdasarkan
analisis korelasi spasial melalui statistik Bivariate
Global Moran’s I yang dilakukan pada indikator PDRB terhadap AHH setiap kabupaten dan kota,
menunjukkan bahwa wilayah dengan PDRB tinggi dapat memiliki AHH yang rendah,
sebaliknya wilayah dengan PDRB rendah ternyata memiliki AHH yang tinggi. Kondisi
PDRB tinggi dengan AHH rendah terjadi di Musi Rawas, Ogan Ilir, Banyuasin, dna
Muara Enim. Sedangkan kondisi sebaliknya terjadi di OKI, OKU Timur, Lahat, OKU
Selatan, OKU, dan Pagaralam.
Konntradiksi
terjadi pula pada hasil analisis korelasi spasial indikator MYS dan PPP. PDRB tinggi tak menjamin MYS penduduknya juga tinggi. Hal ini terjadi di Banyuasin,
Muara Enim, Musi Banyasin, Ogan Ilir, Muara Enim, dan Musi Rawas. Kondisi MYS
tinggi namun PDRB rendah terjadi di enam wilayah yakni OKU, Pagaralam, Lahat,
dan Lubuk Linggau. Pada indikator PPP, kondisi kontradiksi hanya terjadi dalam
bentuk PDRB tinggi dengan PPP rendah. Kondisi ini terjadi di Banyuasin, Muara
Enim, Musi Banyuasin, Ogan Ilir, Prabumulih, dan Musi Rawas.
Sumber : indikator.co.id |
Ketimpangan kualitas
modal manusia semakin terasa jika dikaji lebih dalam pada kabupaten dan kota
yang seolah konsisten pada prinsip dasar hubungan pembangunan ekonomi dan
pembangunan manusia. Palembang adalah kota yang memiliki pembangunan ekonomi
dan pembangunan manusia terbaik di Sumatera Selatan. Sepantasnya sebagai
ibukota provinsi, wilayah ini memiliki AHH, MYS, dan PPP tertinggi sehingga
otomatis kualitas modal manusia berdasarkam IPM adalah yang tertinggi di
seantero provinsi. Begitu timpang dengan kondisi yang terjadi di Kabupaten Musi
Rawas Empat Lawang dimana PDRB yang rendah terjadi di tengah AHH, MYS, dan PPP
yang juga rendah. Kedua kabupaten ini menjadi dua kabupaten dengan nilai IPM
terendah di Provinsi Sumatera Selatan.
Kondisi ketimpangan
pembangunan modal manusia dan modal sosial seharusnya dapat segera dihapuskan
dari tanah Sumatera Selatan. Jika kondisi ini terus terjadi, maka tidak dapat
dipungkiri kualitas bonus demografi hasil pembangunan pada saat ini begitu
diragukan. Bonus demografi lebih berpotensi menjadi ‘bonus masalah’ berupa
merajalelanya kemiskinan dan pengangguran daripada menjadi ‘bonus solusi’ bagi
problematika sosial ekonomi. Penghapusan ketimpangan pembangunan modal manusia
dan modal sosial adalah hal yang sangat mendesak. Oleh karena itu, diperlukan
sinergi berkelanjutan antara pemerintah dan masyarakat.
Pemerintah Provinsi
Sumatera Selatan serta Pemerintah Kabupaten dan Kota harus bekerjsama merumuskan
solusi terbaik dari ketimpangan modal sosial dan modal manusia. Modal sosial
dapat ditingkatkan dengan membuka seluas-luasnya akses penduduk pada
kegiatan-kegiatan sosial. Hal kongkrit yang dapat dilakukan adalah pembanguan
sarana dan prasarana akses transportasi serta meningkatkan jumlah kegiatan
dengan interakasi dan transfer ilmu yang tinggi seperti lokakarya serta seminar
bertaraf nasional maupun internasional. Transportasi merupakan pembuka
peradaban dimana ketika transportasi baik maka transfer teknologi dan informasi
lancar menjangkau semua lapisan penduduk.
Pembangunan modal
manusia sangat berkaitan dengan IPM, maka indikator IPM harus menjadi fokus
utama dalam yang berkelanjutan. Indikator AHH menunjukkan derajat kesehatan
penduduk. AHH yang masih rendah di suatu wilayah mengindikasikan masih perlunya
peningkatan kesehatan dengan akses terhadap fasilitas kesehatan yang harus
ditingkatan. Pemerintah sebaiknya tak hanya membangun fasilitas kesehatan,
namun juga memeratakan distribusi petugas medis serta obat-obatan yang
diperlukan. Rata-Rata Lama Sekolah sebagai indikator pendidikan menunjukkan
urgensi peningkatan akses pendidikan terutama pada wilayah-wilayah yang jauh
dari pusat keramaian wilayah. Peningkatan akses ini juga harus diikuti
peningkatan jumlah tenaga pendidik serta sarana dan prasarana pembelajaran
seperti alat peraga dan buku pelajaran. PPP
sebagai indiaktor daya beli masyarakat dapat dijaga oleh pemerintah dengan
menjaga kestabilan harga dan inflasi. Peningkatan daya beli masyarakat otomatis
berdampak pada pergerakan roda ekonomi yang membawa kesejahteraan.
Sumber : |
Pembangunan tanpa pemerataan adalah kegagalan, Bonus demografi tanpa
modal sosial dan modal manusia adalah kemustahilan. Wujudkan Bonus Demografi
sebagai Bonus Solusi!
DAFTAR
PUSTAKA
Alesina A, Ferrara EL (1999).
Participation in heterogeneous communities, National bureau of economic
research.
Badan Pusat
Statistik. (2014). Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2014
[Press release]
Badan Pusat
Statistik.
(2012). Sumatera Selatan dalam Angka 2012 [Publikasi]
Badan Pusat
Statistik.
(2013). Sumatera Selatan dalam Angka 2013 [Publikasi]
Badan Pusat
Statistik.
(2014). Sumatera Selatan dalam Angka 2014 [Publikasi]
Badan Pusat
Statistik.
(2014). Update Hasil Sensus Penduduk 2010 [Publikasi] dalam www.sp2010.bps.go.id diakses tanggal
20 Mei 2015.
Grootaert,
C. (2001). "The missing link?" Social capital and participation in
everyday life: 8.
Todaro, Michael.
2004. Pembangunan Ekonomi di Dunia
Ketiga, Edisi Kedelapan (Terjemahan). Jakarta: Erlangga.
Geoda
Center for Geospatial Analysis and Computation. Spatial Analysis Concept Demo
dalam www.geodacenter.asu.edu diakses tanggal 2 Mei 2015.
Anselin,
Luc. (2003). An Introduction to Spatial
Autocorrelation Analysis with GeoDa dalam www.geodacenter.asu.edu
diakses tanggal 2 Mei 2015.
Slamet
Y. 2010. The Relationships Between Social Institutions, Social Capital and
Their Effects on Poverty Reduction. Universiti Utara Malaysia.
United
Nation Development Programme. 1990. Global
Human Develpoment Report 1990 [Press release]
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar