29/02/16

Pendidikan Kependudukan dan Aborsi

Solusi Mengatasi Pro-Kontra Aborsi



Berdasarkan data kependudukan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), negara yang menempati urutan empat besar berpenduduk terbesar di dunia adalah Cina, India, Amerika Serikat, dan Indonesia. Sebagai negara-negara yang berpenduduk terbesar, ledakan jumlah penduduk menjadi masalah krusial yang umum dihadapi oleh negara-negara tersebut. Pemerintah menjadi pihak yang berwenang menekan laju pertumbuhan penduduk dalam menangani masalah-masalah kependudukan, khususnya masalah ledakan jumlah penduduk yang dilakukan melalui berbagai kebijakan.

Kebijakan kependudukan dilaksanakan secara langsung dan tidak langsung, intervensi dan non intervensi, maupun implisit dan eksplisit. Kebijakan intervensi merupakan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah seolah-olah langsung memaksa masyarakat untuk mengikuti kebijakan yang dibuat sedangkan kebijakan non intervensi berlaku sebaliknya. Kebijakan yang bersifat langsung, atau implisit merupakan kebijakan yang secara nyata dilaksanakan untuk menekan laju pertumbuhan penduduk. Kebijakan ini mencakup kebijakan mengenai kontrasepsi, pajak keluarga, serta pembatasan usia kawin. Sebaliknya, kebijakan yang bersifat tidak langsung atau eksplisit merupakan kebijakan yang memberikan dampak tidak langsung jangka panjang agar kondisi kependudukan menjadi ideal.
Kebijakan kependudukan yang seringkali menuai kontroversi adalah pelegalan aborsi. Bentuk pelegalan aborsi di berbagai negara tidaklah sama. Namun, perbandingan bentuk pelegalan aborsi dapat dikaji pada empat besar negara berpenduduk terbesar di dunia. Tiongkok sebagai negara pertama dalam kuantitas penduduk melegalkan aborsi dengan sangat luar biasa melalui One Child Policy. Data dari National Health and Family Planning Comission Tiongkok menunjukkan bahwa terdapat lebih dari 13 juta aborsi per tahun atau 1 banding 100 orang. Aborsi yang terjadi di Tiongkok terutama disebabkan oleh tekanan untuk menerapkan One Child Policy meski terus menuai kontroversi. Rakyat Tiongkok seolah tidak berdaya untuk melawan pemaksaan aborsi yang diterapkan pemerintah. 

Sementara itu di India, kasus aborsi mencapai 6,4 juta aborsi per tahun. Aborsi yang dilegalkan oleh hukum India berdasarkan Medical Termination of Pregnancy, yakni aborsi karena alasan kesehatan ibu baik fisik dan mental serta jika sang bayi memiliki potensi untuk cacat fisik dan mental saat lahir. Amerika serikat sendiri memiliki sekitar 780 ribu kasus aborsi per tahun atau 1 banding 500 orang berdasarkan data The Centers for Disease Control and Prevention. India dan Amerika Serikat memiliki kesamaan dalam pelegalan aborsi bahwa anak di bawah umur yang hamil boleh melakukan aborsi dengan izin walinya. Layaknya di Amerika Serikat dan India, aborsi di Indonesia masih menuai pro dan kontra tak berkesudahan.
Di Indonesia, pelegalan aborsi diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Peraturan ini terus menuai kontroversi meski sudah disetujui oleh Presiden. Dalam budaya di Indonesia, aborsi tetap menjadi hal yang sangat tabu. Pelegalan aborsi harus dilaksanakan berdasarkan norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Aborsi yang seharusnya dilegalkan hanyalah jika mengancam nyawa sang ibu, satu-satunya alasan yang mutlak dan dapat diterima oleh norma agama dan norma sosial.
Pelegalan aborsi yang semakin lama seolah semakin longgar membuka berbagai celah penyimpangan norma multidimensi yang dilindungi hukum. Hal tersebut dapat dimulai dari menjamurnya prostitusi, tindak kejahatan pemerkosaan, hingga gaya hidup seks bebas di kalangan remaja. Akibatnya, kehamilan di luar nikah dapat menjadi hal yang tidak tabu lagi karena dapat mudah diselesaikan dengan aborsi. Pada akhirnya, korban yang akan selalu menelan pil pahit adalah wanita. Wanita dapat mengidap berbagai penyakit berbahaya hingga berujung pada kematian akibat infeksi saat aborsi.
Sebenarnya, Indonesia tidak perlu berlama-lama terjebak dalam kontroversi aborsi terutama mengenai PP No. 61 Tahun 2014. Pemerintah cukup mensahkan instrumen hukum lalu ketat mengawasinya. Selanjutnya, penguatan perisai pelindung melalui dunia pendidikan pada generasi muda adalah hal utama. Pemerintah Indonesia saat ini mulai mengembangkan suatu kebijakan kependudukan jenis tidak langsung atau eksplisit yang bersifat intervensi, yakni pengintegrasian pendidikan kependudukan di setiap jenjang pendidikan di Indonesia.
Integrasi pendidikan kependudukan dilaksanakan pemerintah melalui Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana yang berwenang langsung dalam program-program kependudukan pada Direktorat Kerjasama Pendidikan Kependudukan. Direktorat ini selanjutnya akan menjalin kerjasama dengan Kementerian Pendidikan Nasional sebagai pihak berwenang dalam membangun kurikulum pendidikan di Indonesia. Pendidikan Kependudukan merupakan suatu pengintegrasian pembelajaran mengenai masalah-masalah kependudukan yang berkaitan erat dengan reproduksi serta perubahan-perubahan kondisi kependudukan.
Materi yang disampaikan dalam pendidikan kependudukan adalah materi kependudukan secara umum serta materi mengenai Keluarga Berencana. Kurikulum pendidikan kependudukan akan masuk ke dalam kurikulum pendidikan mulai pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Berdasarkan Nota Kesepahaman Pendidikan Kependudukan dan Keluarga Berencana antara Kementerian Pendidikan Nasional melalui menterinya, Mohammad Nuh, dengan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sugiri Syarief, materi kependudukan dan Keluarga Berencana tidak akan menjadi mata pelajaran khusus. Materi kependudukan akan disisipkan ke dalam mata pelajaran yang sudah ada, seperti ilmu sosial dan kegiatan ekstrakurikuler. Pada tingkat SD materi yang akan disampaikan tentang kehidupan berkeluarga secara umum. Lalu di SMP lebih bertumpu pada materi kependudukan selanjutnya di tingkat SMA akan dimasukkan materi kesehatan reproduksi.
Pendidikan kependudukan bukanlah sebuah hal baru dalam pendidikan di Indonesia. Pendidikan kependudukan sebenarnya telah menjadi mata kuliah pokok bagi mahasiwa baik jenjang strata satu maupun strata dua dan tiga. Pendidikan strata dua dan tiga bahkan telah menjadikan bidang kependudukan sebagai satu jurusan khusus yang menangani masalah kependudukan dan demografi secara umum. Sayangnya, terdapat dua fakta penuh dilema yang terjadi di Indonesia.
Pertama, pada jenjang yang lebih rendah, pendidikan kependudukan hanya sebatas dipelajari oleh mahasiswa jurusan tertentu saja dan bahkan tidak ada pendidikan kependudukan pada siswa-siswa jenjang pendidikan dasar dan menengah. Kedua, meski penandatanganan nota kesepahaman telah dilaksanakan sejak 4 Oktober 2012, pendidikan kependudukan belum dapat langsung diintegrasikan dalam pendidikan Indonesia secara serta merta. Perancangan kurikulum yang baik dan matang tentunya memerlukan jangka waktu yang tak dapat sesingkat membalikkan telapak tangan. Terlepas dari semua fakta yang ada, pengintegrasian pendidikan kependudukan merupakan suatu titik balik yang luar biasa oleh pemerintah untuk menjernihkan pola pikir masyarakat bahwa yang terpenting bukan pro kontranya, namun solusi untuk mencegah aborsi sejak dini.



Stop Aborsi, Masa Depan Wanita dan Sinergi Komponen Negara
Pendidikan kependudukan sebenarnya wujud nyata pemenuhan hak-hak wanita tak hanya dalam pendidikan, tetapi juga dalam persiapan masa depannya. Pengintegrasian pendidikan kependudukan akan memberikan gambaran sedini mungkin bagi setiap anak khususnya wanita untuk melakukan perencanaan dalam pernikahan dan reproduksi secara aman. Selama ini, perencanaan pernikahan dan reproduksi merupakan suatu hal yang tabu untuk diperbincangkan secara intensif di usia-usia belia. Stigma ini akhirnya menyebabkan wanita harus melakukan perencanaan secara instan pada usia dewasa yang telah terlambat karena tak sebanding dengan kematangan fisik yang telah terjadi.
Perencanaan masa depan wanita yang seolah gagal ditunjukkan dengan pernikahan usia muda yang masih sangat tinggi di Indonesia. Berdasarkan hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia selama 20 tahun terakhir, usia pernikahan pertama wanita Indonesia masih berkisar pada usia belasan tahun. Kesehatan reproduksi yang rentan pada usia muda menyebabkan angka kematian ibu dan bayi yang juga masih tinggi di Indonesia, yakni mencapai 359 per 100 ribu kelahiran hidup (SDKI 2012). Padahal, jika perencanaan pernikahan dan reproduksi dilakukan lebih awal, generasi wanita Indonesia yang sehat dan sukses dalam karir dan keluarga akan terwujud secara maksimal.
Kematangan reproduksi secara fisik yang terjadi pada remaja saat ini seolah bergerak cepat melampaui kematangan reproduksi secara mental. Remaja seolah ingin coba-coba melakukan tindakan yang tidak seharusnya dilakukan pada tingkat kedewasaannya. Akibatnya, perilaku seks bebas menjamur. Kementerian Kesehatan tahun 2009 pernah merilis data penelitian di empat kota di Indonesia, yakni Jakarta, Surabaya, Medan, dan Bandung bahwa 6,9 responden telah melakukan seks pranikah dan 35,9 persen menyatakan bahwa memiliki teman yang melakukan seks pranikah. Seks bebas merupakan awal dari kehamilan tak diinginkan yang akan berujung pada perilaku aborsi. Oleh karena itu, sinergi antara pemerintah, sekolah, masyarakat, serta siswa secara pribadi sangat diperlukan bagi kesuksesan pengintegrasian pendidikan kependudukan di Indonesia untuk mencegah kasus aborsi.
Orangtua sebagai figur utama dalam keluarga harus mendukung pendidikan kependudukan dimulai dengan mengubah pola pikir bahwa pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi yang ada pada pendidikan kependudukan bukanlah suatu hal yang tabu. Pendidikan kependudukan bukanlah sebuah pendidikan yang mengarah pada pendewasaan instan seorang wanita, tetapi wujud persiapan nyata untuk masa depan keluarga dan reproduksinya. Pada akhirnya, orangtua dan masyarakat secara umum harus mendukung pendidikan ini dengan menjadi agen sosialiasi di lingkungan dasar seorang anak. 
Seorang siswa dapat mendukung pendidikan kependudukan dengan memotivasi diri untuk antusias dalam setiap pembelajaran. Sejak awal harus segera ditanamkan dalam diri setiap siswa untuk meresapi materi yang ada sebagai dasar perencanaan masa depan. Siswa wanita khususnya dapat menjadikan pendidikan kependudukan untuk mulai merombak stigma mengenai perencanaan reproduksi. Lalu, memotivasi diri untuk terus memperjuangkan hak-hak wanita dalam penentuan masa depannya untuk berkeluarga, berkarir, dan bereproduksi.
 Sedangkan pemerintah sebagai peletak dasar utama bagi pendidikan kependudukan di Indonesia harus segera mengimplementasikan pendidikan kependudukan pada kurikulum sekolah. Pengimplementasian pendidikan ini harus diikuti dengan pelatihan pengajar serta pemberian sarana dan prasarana penunjang pendidikan. Sosialisasi eksternal pada masyarakat luas juga harus dilakukan melalui iklan-iklan layanan masyarakat serta pembentukan tim sosialisasi bagi masyarakat.
            Pendidikan kependudukan mengemban tugas besar untuk memenuhi harapan semua lapisan masyarakat yaitu kehidupan damai tanpa pro kontra aborsi. Harapan sekolah untuk mencetak generasi muda berkualitas yang memiliki perencanaan masa depan yang matang. Harapan pemerintah untuk menciptakan generasi Indonesia yang berkualitas dan terhindar dari bahaya aborsi. Serta harapan seorang anak khususnya wanita yang mengharapkan masa depan terbaik untuk kehidupan keluarga, karir, dan reproduksinya. Pro kontra tak seharusnya begitu panjang dibahas sehingga melupakan upaya pencarian jalan keluar. Stop Pro Kontra Aborsi, Laksanakan Pendidikan Kependudukan Sejak Dini!
 



DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014

Todaro, Michael. 2004. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Edisi Kedelapan. Jakarta: Erlangga

Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 1991, 1994, 1997, 2002-2003, 2007. Badan Pusat Statistik Republik Indonesia.

Sensus Penduduk 2010. Badan Pusat Statistik Republik Indonesia.

en.nhfpc.gov.cn



www.loc.gov

www.kompas.com


sumsel.bkkbn.go.id

unstats.un.org


Tidak ada komentar:

Posting Komentar