Berdasarkan data kependudukan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), negara
yang menempati urutan empat besar berpenduduk terbesar di dunia adalah Cina,
India, Amerika Serikat, dan Indonesia. Sebagai negara-negara yang berpenduduk terbesar, ledakan jumlah
penduduk menjadi masalah krusial yang umum dihadapi oleh negara-negara tersebut.
Pemerintah menjadi pihak yang berwenang menekan laju
pertumbuhan penduduk dalam menangani
masalah-masalah kependudukan, khususnya masalah ledakan jumlah penduduk yang dilakukan melalui berbagai kebijakan.
Kebijakan kependudukan dilaksanakan secara langsung dan tidak langsung, intervensi dan non intervensi, maupun implisit dan eksplisit. Kebijakan intervensi merupakan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah seolah-olah langsung memaksa masyarakat untuk mengikuti kebijakan yang dibuat sedangkan kebijakan non intervensi berlaku sebaliknya. Kebijakan yang bersifat langsung, atau implisit merupakan kebijakan yang secara nyata dilaksanakan untuk menekan laju pertumbuhan penduduk. Kebijakan ini mencakup kebijakan mengenai kontrasepsi, pajak keluarga, serta pembatasan usia kawin. Sebaliknya, kebijakan yang bersifat tidak langsung atau eksplisit merupakan kebijakan yang memberikan dampak tidak langsung jangka panjang agar kondisi kependudukan menjadi ideal.
Kebijakan kependudukan yang
seringkali menuai kontroversi
adalah pelegalan aborsi. Bentuk pelegalan aborsi di berbagai negara
tidaklah sama. Namun, perbandingan bentuk pelegalan aborsi dapat dikaji pada
empat besar negara berpenduduk terbesar di dunia. Tiongkok sebagai negara pertama
dalam kuantitas penduduk melegalkan aborsi dengan sangat luar biasa melalui One Child Policy. Data dari National Health and Family Planning
Comission Tiongkok menunjukkan bahwa terdapat lebih dari 13 juta aborsi per
tahun atau 1 banding 100 orang. Aborsi yang terjadi di Tiongkok terutama
disebabkan oleh tekanan untuk menerapkan One
Child Policy meski terus menuai kontroversi. Rakyat Tiongkok seolah tidak
berdaya untuk melawan pemaksaan aborsi yang diterapkan pemerintah.
Sementara itu di India, kasus aborsi mencapai 6,4 juta aborsi per
tahun. Aborsi yang dilegalkan oleh hukum India berdasarkan Medical Termination of Pregnancy, yakni aborsi karena alasan
kesehatan ibu baik fisik dan mental serta jika sang bayi memiliki potensi untuk
cacat fisik dan mental saat lahir. Amerika serikat sendiri memiliki sekitar 780
ribu kasus aborsi per tahun atau 1 banding 500 orang berdasarkan data The Centers for Disease Control and
Prevention. India dan Amerika Serikat memiliki kesamaan dalam pelegalan
aborsi bahwa anak di bawah umur yang hamil boleh melakukan aborsi dengan izin
walinya. Layaknya di Amerika Serikat dan India, aborsi di Indonesia masih menuai
pro dan kontra tak berkesudahan.
Di Indonesia, pelegalan aborsi diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 61
Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Peraturan ini terus menuai kontroversi
meski sudah disetujui oleh Presiden. Dalam budaya di Indonesia, aborsi tetap
menjadi hal yang sangat tabu. Pelegalan aborsi harus dilaksanakan berdasarkan
norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Aborsi yang seharusnya
dilegalkan hanyalah jika mengancam nyawa sang ibu, satu-satunya alasan yang mutlak
dan dapat diterima oleh norma agama dan norma sosial.
Pelegalan aborsi yang semakin lama seolah semakin longgar membuka berbagai
celah penyimpangan norma multidimensi yang dilindungi hukum. Hal tersebut dapat
dimulai dari menjamurnya prostitusi, tindak kejahatan pemerkosaan, hingga gaya
hidup seks bebas di kalangan remaja. Akibatnya, kehamilan di luar nikah dapat
menjadi hal yang tidak tabu lagi karena dapat mudah diselesaikan dengan aborsi.
Pada akhirnya, korban yang akan selalu menelan pil pahit adalah wanita. Wanita
dapat mengidap berbagai penyakit berbahaya hingga berujung pada kematian akibat
infeksi saat aborsi.
Sebenarnya, Indonesia tidak perlu berlama-lama terjebak dalam kontroversi
aborsi terutama mengenai PP No. 61 Tahun 2014. Pemerintah cukup mensahkan
instrumen hukum lalu ketat mengawasinya. Selanjutnya, penguatan perisai
pelindung melalui dunia pendidikan pada generasi muda adalah hal utama. Pemerintah Indonesia saat ini mulai mengembangkan suatu kebijakan
kependudukan jenis tidak langsung atau eksplisit yang bersifat intervensi,
yakni pengintegrasian pendidikan kependudukan di setiap jenjang pendidikan di
Indonesia.
Integrasi pendidikan kependudukan
dilaksanakan pemerintah melalui Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana yang
berwenang langsung dalam program-program kependudukan pada Direktorat Kerjasama
Pendidikan Kependudukan. Direktorat ini selanjutnya akan menjalin kerjasama
dengan Kementerian Pendidikan Nasional sebagai pihak berwenang dalam membangun
kurikulum pendidikan di Indonesia. Pendidikan Kependudukan merupakan suatu
pengintegrasian pembelajaran mengenai masalah-masalah kependudukan yang
berkaitan erat dengan reproduksi serta perubahan-perubahan kondisi kependudukan.
Materi yang disampaikan
dalam pendidikan kependudukan adalah materi kependudukan secara umum serta
materi mengenai Keluarga Berencana. Kurikulum pendidikan kependudukan akan
masuk ke dalam kurikulum pendidikan mulai pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Berdasarkan Nota Kesepahaman Pendidikan Kependudukan dan
Keluarga Berencana antara Kementerian Pendidikan Nasional melalui menterinya,
Mohammad Nuh, dengan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN) Sugiri Syarief, materi kependudukan dan Keluarga Berencana tidak akan
menjadi mata pelajaran khusus. Materi kependudukan akan disisipkan ke dalam
mata pelajaran yang sudah ada, seperti ilmu sosial dan kegiatan
ekstrakurikuler. Pada tingkat SD materi yang akan disampaikan tentang kehidupan
berkeluarga secara umum. Lalu di SMP lebih bertumpu pada materi kependudukan
selanjutnya di tingkat SMA akan dimasukkan materi kesehatan reproduksi.
Pendidikan kependudukan bukanlah sebuah hal baru
dalam pendidikan di Indonesia. Pendidikan kependudukan sebenarnya telah menjadi
mata kuliah pokok bagi mahasiwa baik jenjang strata satu maupun strata dua dan
tiga. Pendidikan strata dua dan tiga bahkan telah menjadikan bidang
kependudukan sebagai satu jurusan khusus yang menangani masalah kependudukan dan
demografi secara umum. Sayangnya, terdapat dua fakta penuh dilema yang terjadi
di Indonesia.
Pertama, pada jenjang yang lebih rendah, pendidikan
kependudukan hanya sebatas dipelajari oleh mahasiswa jurusan tertentu saja dan
bahkan tidak ada pendidikan kependudukan pada siswa-siswa jenjang pendidikan
dasar dan menengah. Kedua, meski penandatanganan nota kesepahaman telah
dilaksanakan sejak 4 Oktober 2012, pendidikan kependudukan belum dapat langsung
diintegrasikan dalam pendidikan Indonesia secara serta merta. Perancangan
kurikulum yang baik dan matang tentunya memerlukan jangka waktu yang tak dapat
sesingkat membalikkan telapak tangan. Terlepas dari semua fakta yang ada,
pengintegrasian pendidikan kependudukan merupakan suatu titik balik yang luar
biasa oleh pemerintah untuk menjernihkan pola pikir masyarakat bahwa yang terpenting
bukan pro kontranya, namun solusi untuk mencegah aborsi sejak dini.
Stop Aborsi,
Masa Depan Wanita dan Sinergi Komponen Negara
Pendidikan kependudukan sebenarnya wujud nyata pemenuhan
hak-hak wanita tak hanya dalam pendidikan, tetapi juga dalam persiapan masa
depannya. Pengintegrasian pendidikan kependudukan akan memberikan gambaran
sedini mungkin bagi setiap anak khususnya wanita untuk melakukan perencanaan dalam
pernikahan dan reproduksi secara aman. Selama ini, perencanaan pernikahan dan reproduksi merupakan suatu hal
yang tabu untuk diperbincangkan secara intensif di usia-usia belia. Stigma ini
akhirnya menyebabkan wanita harus melakukan perencanaan secara instan pada usia
dewasa yang telah
terlambat karena tak sebanding dengan kematangan fisik yang telah terjadi.
Perencanaan masa depan wanita yang seolah gagal
ditunjukkan dengan pernikahan usia muda yang masih sangat tinggi di
Indonesia. Berdasarkan hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia selama 20
tahun terakhir, usia pernikahan pertama wanita Indonesia masih berkisar pada
usia belasan tahun. Kesehatan reproduksi yang rentan pada usia muda menyebabkan angka kematian ibu dan bayi yang juga masih tinggi di
Indonesia, yakni
mencapai 359 per 100 ribu kelahiran hidup (SDKI 2012). Padahal, jika perencanaan pernikahan dan reproduksi dilakukan lebih
awal, generasi wanita Indonesia yang sehat dan sukses dalam karir dan keluarga
akan terwujud secara maksimal.
Kematangan reproduksi secara
fisik yang terjadi pada remaja saat ini seolah bergerak cepat melampaui
kematangan reproduksi secara mental. Remaja seolah ingin coba-coba melakukan
tindakan yang tidak seharusnya dilakukan pada tingkat kedewasaannya. Akibatnya,
perilaku seks bebas menjamur. Kementerian Kesehatan tahun 2009 pernah merilis
data penelitian di empat kota di Indonesia, yakni Jakarta, Surabaya, Medan, dan
Bandung bahwa 6,9 responden telah melakukan seks pranikah dan 35,9 persen
menyatakan bahwa memiliki teman yang melakukan seks pranikah. Seks bebas
merupakan awal dari kehamilan tak diinginkan yang akan berujung pada perilaku
aborsi. Oleh karena itu, sinergi antara
pemerintah, sekolah, masyarakat, serta siswa secara pribadi sangat diperlukan bagi
kesuksesan pengintegrasian pendidikan kependudukan di Indonesia untuk mencegah kasus aborsi.
Orangtua sebagai figur utama dalam keluarga harus mendukung pendidikan
kependudukan dimulai dengan mengubah pola pikir bahwa pengetahuan
mengenai kesehatan reproduksi yang ada pada pendidikan kependudukan bukanlah
suatu hal yang tabu. Pendidikan kependudukan bukanlah sebuah pendidikan yang
mengarah pada pendewasaan instan seorang wanita, tetapi wujud persiapan nyata
untuk masa depan keluarga dan reproduksinya. Pada akhirnya, orangtua dan
masyarakat secara umum harus mendukung pendidikan ini dengan menjadi agen
sosialiasi di lingkungan dasar seorang anak.
Seorang siswa dapat
mendukung pendidikan kependudukan dengan memotivasi diri untuk antusias dalam
setiap pembelajaran. Sejak awal harus segera ditanamkan dalam diri setiap siswa untuk meresapi materi
yang ada sebagai dasar perencanaan masa depan. Siswa wanita khususnya dapat
menjadikan pendidikan kependudukan untuk mulai merombak stigma mengenai
perencanaan reproduksi. Lalu, memotivasi
diri untuk terus memperjuangkan hak-hak wanita dalam penentuan masa depannya
untuk berkeluarga, berkarir, dan bereproduksi.
Sedangkan pemerintah sebagai
peletak dasar utama bagi pendidikan kependudukan di Indonesia harus segera
mengimplementasikan pendidikan kependudukan pada kurikulum sekolah. Pengimplementasian
pendidikan ini harus diikuti dengan pelatihan pengajar serta pemberian sarana dan prasarana penunjang pendidikan. Sosialisasi
eksternal pada masyarakat luas juga harus dilakukan melalui iklan-iklan layanan masyarakat serta pembentukan
tim sosialisasi bagi masyarakat.
Pendidikan kependudukan mengemban
tugas besar untuk memenuhi harapan semua lapisan masyarakat yaitu kehidupan damai tanpa pro kontra aborsi. Harapan
sekolah untuk mencetak generasi muda berkualitas yang memiliki perencanaan masa
depan yang matang. Harapan pemerintah untuk menciptakan generasi Indonesia yang
berkualitas dan terhindar dari bahaya aborsi. Serta harapan seorang anak khususnya wanita yang
mengharapkan masa depan terbaik untuk kehidupan keluarga, karir, dan
reproduksinya. Pro kontra tak seharusnya begitu panjang dibahas
sehingga melupakan upaya pencarian jalan keluar. Stop Pro Kontra Aborsi,
Laksanakan Pendidikan Kependudukan Sejak Dini!
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun
2014
Todaro, Michael. 2004. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Edisi
Kedelapan. Jakarta: Erlangga
Survei
Demografi dan Kesehatan Indonesia 1991, 1994, 1997, 2002-2003, 2007. Badan Pusat
Statistik Republik Indonesia.
Sensus
Penduduk 2010. Badan Pusat Statistik Republik Indonesia.
en.nhfpc.gov.cn
www.loc.gov
www.kompas.com
sumsel.bkkbn.go.id
unstats.un.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar