Edukasi
Kependudukan : Meninjau fenomena kependudukan Indonesia dalam bingkai SDGs
Selamat Datang di
era SDGs! Tak banyak masyarakat tahu mengenai’updating’ tujuan pembangunan global dari MDGs menjadi
SDGs. Millenium Development Goals (MDGS) adalah
sebuah tujuan pembangunan millennium yang dirumuskan pada Agustus 2001 dan
ditargetkan akan terlakasana secara keseluruhan pada tahun 2015 dengan 8 tujuan
utama, yakni menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, mencapai
pendidikan dasar universal, mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan
perempuan, menurunkan angka kematian anak, meningkatkan
kesehatan ibu, memerangi HIV / AIDS, malaria
dan lainnya, memastikan kelestarian lingkungan
hidup dan mengembangkan kemitraan
global untuk pembangunan. Berdasarkan
definisi dari United Nation Development Program, SDGs merupakan singkatan dari
Sustainable Development Goals. (www.undp.org)
“The
Sustainable Development Goals, otherwise known as the Global Goal, build on the Millennium Development Goals (MDGs), eight
anti-poverty targets that the world committed to achieving by 2015. The MDGs,
adopted in 2000, aimed at an array of issues that included slashing poverty,
hunger, disease, gender inequality, and access to water and sanitation. The new
SDGs, and the broader sustainability agenda, go much further than the MDGs,
addressing the root causes of poverty and the universal need for development
that works for all people.” (Post-2015 Development Agenda, www.undp.org)
SDGs
yang digagas untuk melanjutkan MDGs memiliki jangka waktu yang sama dengan MDGS yakni 15 tahun
sehingga SDGs dapat pula disebut sebagai 2030 Agenda of Sustainable
Develpoment. SDGs sebagai perluasan dari MDGs memiliki 17 tujuan global dengan
169 target yang antara lain mencakup pemberantasan kemiskinan, pemberatasn ketidaksetaraan
dan ketidakadilan, kesehatan, pendidikan, energi, pertumbuhan ekonomi serta
penanggulangan terhadap perubahan iklim.
Sumber : Berita
Resmi Statistik No. 37/04/Th. XIX, 18 April 2016
|
Kemiskinan masih
menjadi tujuan pertama dari 17 tujuan global untuk masa 15 tahun ke depan. Isu yang
tak kunjung usai ini selalu dapat menarik perhatian publik dan menjadi isu
sentral dalam membahas fenomena kependudukan yang berkaitan dengan ekonomi
suatu negara. Indonesia belum lama ini
memasuki fenomena baru dalam fenomena kependudukan-ekonomi ini. Tiga tahun
mengalami stagnansi gini ratio, akhirnya pada September 2015 terjadi penurunan
angka gini ratio senilai 0,01. (finance.detik.com/read/2016/04/18/134914/3190479/4/bps-pengeluaran-orang-kaya-ri-turun-orang-miskin-naik)
18 April 2016, Badan
Pusat Statistik (BPS) merilis angka koefisien gini Indonesia yang menjadi
sejarah baru dalam fenomena ketimpangan pendapatan di Indonesia. Koefisien Gini
Indonesia TURUN senilai 0,01 per September 2015. Padahal, koefisien gini
Indonesia tidak pernah turun sejak Maret 2012 yaitu senilia 0, 41. Gini Ratio
merupakan ukuran pemerataan pendapatan yang di hitung
berdasarkan kelas pendapatan. Berdasarkan Sistem Rujukan Statistik Badan Pusat
Statistik Indonesia, koefisien gini didasarkan pada kurva lorenz, yaitu sebuah
kurva pengeluaran kumulatif yang membandingkan distribusi dari suatu variabel tertentu
(misalnya pendapatan) dengan distribusi uniform (seragam) yang mewakili
persentase kumulatif penduduk. Gini ratio yang berkitan erat dengan pendapatan,
otomatis terkait pula dengan kemiskinan.
Sayangnya, Gini
ratio yang menjadi kabar baik begitu sangat kontradiktif dengan fenomena
kemiskinan di Indonesia. Ketimpangan yang menurun ditandai oleh koefisien gini
yang menurun tidak berjalan beriiringan dengan kemiskinan. Kemiskinan di
Indonesia malah semakin meningkat. Hal ini ditunjukkan tidak hanya oleh tingkat
kemiskinan, tetapi juga indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan. Data
kemiskinan yang dirilis oleh Badan Pusat Sattistik menunjukkan tingkat
kemiskinan per September 2015 tercatat sebesar 11,13% atau naik dibandingkan
September 2014 yaitu 10,96%. Indikator kemiskinan kedua adalah Indeks Kedalaman
Kemiskinan merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin
terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh rata-rata
pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan. Indikator ketiga adalah Indeks Keparahan
Kemiskinan) yang memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara
penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi ketimpangan
pengeluaran diantara penduduk miskin. Nilai indeks juga ini meningkat
dari periode Maret dan September 2014 senilai masing-masing 1,75 menjadi
senilai 1,97dan 1,84 pada Maret dan September 2015.
Anomali yang
terjadi di Indonesia tak hanya terjadi pada periode akhir-akhir ini, koefisien
gini yang tetap malah beriringan tingkat kemiskinan yang menurun. Pada periode
Maret 2012 hingga Maret 2015, tingkat kemiskinan menunjukkan tren penurunan,
sementara gini ratio tidak mengalami penurunan, yaitu tetap pada level 0,41. Dikutip
dari finance.detik.com, Kepala Badan Pusat Statistik, Dr. Suryamin menyatakan
pengeluaran kelompok berpendapatan tinggi menurun sedangkan pengeluaran
kelompok berpendapatan rendah meningkat. Sebanyak 20% masyarakat Indonesia yang
termasuk dalam kelompok berpenghasilan tinggi mengalami penurunan pengeluaran,
dari 48,25% pada September 2015 menjadi 47,84% pada Maret 2015, terhadap
pengeluaran penduduk per kapita. Kemudian masyarakat berpengeluaran rendah yang
sebanyak 40% masyarakat Indonesia tercatat naik 0,35%, dari 17,41% menjadi
17,45%. Sementara masyarakat berpengeluaran menengah naik 0,05%, dari 34,65%
menjadi 34,7%. (bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/1122 dan bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/1119)
Turunnya gini
ratio senilai 0,01 memang merupakan indikasi baik untuk penurunan ketimpangan,
namun perlu diwaspadai lebih jauh karena angka ini msih berada pada zona
ketimpangan menengah. Hal ini masih memerlukan perhatian yang besar dari
pemerintah karena pemerataan penurunan gini ratio tidak terjadi di seluruh
provinsi Indonesia terutama saat gini ratio berada pada stagnan. Badan Pusat Statistik merilis pada periode
Maret 2012–Maret 2015 beberapa provinsi (antara lain. Papua Barat, NTB, Sulbar,
Kalteng, dan Sumsel) menunjukkan kenaikan gini ratio. Sementara itu, beberapa
provinsi yakni Sumbar, Lampung, dan Kaltim menunjukkan penurunan gini ratio.
Melihat
adanya penurunan ketimpangan di tengah-tengah peningkatan indikator kemiskinan
lain seharusnya dapat menimbulkan sikap kritis dalam masyarakat. Ketimpangan
yang menurun dapat juga diartikan bahwa pemerataan terjadi lebih baik daripada
periode sebelumnya. Ketimpangan memang menurun sehingga pemerataan meningkat,
tetapi indikator kemiskinan malah ikut meningkat sehingga menimbulkan
pertanyaan lain :
“Pemerataan
Kekayaan atau Pemerataan Kemiskinan kah yang terjadi di Indonesia?”
Pengeluaran
sebagai proksi pendapatan dapat berbicara banyak mengenai hal ini. Pengeluaran
penduduk pada tingkat teratas yang menurun menunjukka penurunan dalam
penghasilan. Hal ini dapat memiliki arti bahwa penduduk teratas perekonomian
ini terindikasi berhemat akibat penghasilan yang berangsur turun. Pengeluaran penduduk terbawah perekonomian
yang meningkat memang baik, namun perlu ada tinjauan yang lebih serius. Tingkat
kemiskinan yang meningkat menunjukkan semakin banyak orang yang hidup di bawah
garis kemiskinan. Lalu indeks kedalaman kemiskinan yang meningkat adalah bukti
bahwa penduduk terbawah ini semakin terperosok dalam pada jurang kemiskinan.
Akhirnya, pada indikator ketiga yaitu indeks keparahan kemiskinan yang
meningkat semakin memperparah yang terjadi pada penduduk di lingkaran
kemiskinan ini. Pendapatan yang meningkat sebgaai indikasi peaningkatan gini
ratio HANYA dinikmati sebagian saja penduduk miskin. Ketimpangan secara
keseluruhan memang menurun, namun ketimpangan antara penduduk miskin malah
semakin parah. Hal ini diilustrasikan bahwa suatu kelompok masyarakata miskin
memang semakin tinggi memanjat tebing jurang kemiskinan untuk keluar, namun
sebagian yang lain malah menggali jurang menajdi lebih dalam.
Pemerintah
sebaiknya bersikap waspada terhadap fenomena ini. SDGs mengamanahkan untuk
‘mengakhiri’ kemiskinan dan kesetaraan apapun dalam segala bidang, bukan hanya
menurunkan ‘ketidaksetaraan’ di tengah kemiskinan yang makin meningkat. Masyarakat
terutama generasi muda sebaiknya sadar dan kritis terhadap fenomena ini
sehingga dapat menjadi kajian sebagai saran dari pemerintah. Penelitian-penelitian
mengenai kemiskinan selanjutnya sebaiknya tidak menggunakan variabel gini ratio
untuk menggambarkan kemiskinan dan ketimpangan karena kekurang sensitifan
variabel ini untuk memotret fenomena yang ada.
Jika
pendapatan penduduk teratas menurun lalu indikator kemiskinan milik penduduk terbawah
meningkat, dapatkah hal ini diartikan sebagai PEMERATAAN KEMISKINAN?
DAFTAR PUSTAKA
Berita Resmi
Statistik No. 37/04/Th. XIX, 18 April 2016
Laporan
Pencapaian Tujuan Pembangunan Millenium di Indonesia Tahun 2014
Tabel Indeks
Kedalaman dan Tabel Indeks Keparahan Kemiskinan dalam bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/1122 dan bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/1119 diakses 5 Mei 2016
Berita Penurunan
Gini Ratio dalam finance.detik.com/read/2016/04/18/134914/3190479/4/bps-pengeluaran-orang-kaya-ri-turun-orang-miskin-naik diakses 5 Mei 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar